Ramadhan,
kau datang lagi, mengetuk pintu jiwaku,
membawa cahaya untuk menyeka gelap,
mengulurkan tangan penuh kasih,
menawarkan pembersihan bagi dosa-dosa yang menumpuk.

 

Ramadhan,
aku tahu ketulusanmu,
tapi entah mengapa,
aku sering menyambutmu dengan hati yang hambar,
mengikuti jejakmu setengah hati,
menjalankan titahmu tanpa sepenuh cinta.

Kau bisikkan lembut dalam sunyi,
“Aturlah pola makan dan minummu,
hanya tiga puluh hari saja,
agar tubuhmu kembali kuat.

Latihlah hatimu menahan gejolak,
hanya tiga puluh hari saja,
agar kemanusiaanmu tak pudar.

Jernihkan jiwamu dalam zikir,
agar nurani kembali bercahaya,
agar ambisi tak membutakan nurani,
agar syahwat tak liar menerjang batas,
agar akal tetap tajam membaca dunia,
dan hatimu tetap lapang menerima cahaya-Nya.”

Itu semua kau tawarkan, bukan?
Demi keteguhan hati dalam berkarya,
demi semangat melayani sesama,
demi kepedulian terhadap alam semesta,
demi kepekaan menangkap jejak kebesaran-Nya,
demi kekhusyukan dalam sujud dan doa.

Namun Ramadhan,
entah sudah berapa kali kau datang,
aku masih tetap di sini,
berpuasa tanpa benar-benar berpuasa.

Siang kutahan lapar dan dahaga,
tapi malam kulampiaskan rakus tak terkira.
Kemalasan kembali menyergap,
kepedulian sirna,
ibadah sekadar ritual tanpa makna,
dan entahlah,
apa yang tersisa untuk sebelas bulan setelahnya.

Ramadhan,
aku tak kunjung puasa.
Puasaku hanyalah upacara,
tiga puluh hari yang penuh seremoni,
sementara sebelas bulan berikutnya,
aku kembali larut dalam hura-hura tanpa makna.

Ramadhan,
kau kembali mengetuk pintu,
dan aku masih saja bersiap menggelar pesta,
menata hidangan sahur dan berbuka,
mengundang ramai dalam perjamuan bernama buka bersama,
lalu meninggalkan tarawih dan tadarus.

Ramadhan,
aku tak kunjung puasa,
bahkan saat kau dan aku masih bersama.

Repost

Ali Mustahib Elyas
25 Mei 2017