Seratus tujuh belas tahun yang lalu, kami bangkit—
dengan akal, bukan tangan mengepal,
dengan kata, bukan senjata,
dari ruang kelas Budi Utomo,
lahir tekad melawan gelap
dengan cahaya ilmu dan cita-cita merdeka.

Pendidikan jadi nyala obor,
menerangi jalan keluar dari pekatnya penjajahan.
Kita pernah percaya:
satu huruf mampu mengusir seribu bayangan,
satu guru adalah revolusi yang bernyawa.

Namun kini, setelah seratus tahun lebih berlalu,
apa yang telah bangkit—dan apa yang justru tumbang?

Musuh kita tak lagi berseragam,
tak lagi berkebangsaan asing,
tapi duduk di singgasana kekuasaan,
tersenyum di balik jas dan berdasi, menyusun tipu daya.

Korupsi jadi kebiasaan yang lumrah,
kolusi jadi budaya dan membuat bangga,
nepotisme jadi warisan keluarga.

Reformasi yang dulu berteriak lantang
hancurkan korupsi, kolusi, nepotisme,
kini tergugu di balik meja birokrasi,
Suaranya diredam suap,
langkahnya dibelenggu ambisi,
Keberaniannya dikebiri balas budi

Apa gunanya kata-kata—
jika buku yang menyimpan sejuta hikmah
teronggok diam di sudut rak,
kalah pamor dari gadget tanpa makna?

Apa gunanya khutbah ulama dan cendekia
jika hanya menggaung di ruang kosong,
tak menyentuh akal, tak menembus jiwa?

Apa gunanya pidato kebangkitan,
jika kita terus jatuh pada lubang yang sama:
keserakahan yang menjelma
dalam laporan keuangan yang direkayasa,
dalam proyek fiktif yang diteken dengan senyuman bangga,
dalam amplop upeti yang melicinkan segala urusan.

Bangsa ini tidak butuh lagi seruan semu,
tapi aksi yang jujur,
bukan aktor di panggung politik
yang menjual moral demi kursi.

Kebangkitan sejati bukan soal tanggal merah,
bukan seremoni upacara dan baliho,
tapi soal keberanian untuk jujur,
soal tekad untuk bersih
dari dalam hati hingga ke palu kebijakan.

Hari ini kita bertanya:
apakah kita benar-benar bangkit,
atau hanya berdiri
di atas reruntuhan idealisme
yang dulu diperjuangkan dengan darah?