Di tengah gelombang laut yang menggelora,
Kholid berdiri, seorang nelayan sejati.
Sosok sederhana dari desa terpencil,
Kini suaranya menggema di angkasa nusantara.
“Jika negara gentar melawan korporasi,
Kami, rakyat Banten, siap berdiri,”
Ucapnya tegas, penuh keyakinan diri,
Menembus sunyi yang kerap kali membisu.
Diksi tajam, intonasi bertenaga,
Bukan sekadar keberanian yang ia bawa.
Ia berbicara dengan ilmu dan logika,
Menolak sekat, menantang stigma.
“Logika penjajah berpikir parsial,”
Ia berkata, mematahkan nalar dangkal.
Manusia tak terkotak oleh batas geografis,
Keberanian melampaui alasan yang egois.
Namun, ironi begitu nyata,
Pendidikan kita sering menyala di meja,
Namun padam di medan perjuangan yang nyata,
Membiarkan kebatilan tanpa suara.
“Ingin aman, tak mau ribut,”
Begitu mereka yang memilih bungkam di zona nyaman.
Berpikir karir bergantung pada manusia,
Lupa akan Tuhan yang Maha Berkuasa.
Kholid, nelayan tua, rakyat biasa,
Menyalakan kembali idealisme yang sirna.
Di usianya yang senja, ia tetap berdiri dengan gagah,
Menghadapi badai tanpa menyerah.
Retorikanya melampaui mereka yang sekolah,
Keberaniannya menyentak hati yang apatis.
Ketika budaya pop membutakan mata,
Kholid menjadi oase di tengah gurun jiwa.
Pendidikan sejati bukan sekadar gelar,
Melainkan keberanian melawan yang salah.
Tak sekedar melahirkan generasi pandai namun pasrah
Oleh ketidak adilan yang terus berulah.
Mari kita belajar dari Kholid yang sederhana,
Keberanian moral, iman yang bercahaya.
Ia mengingatkan, hidup adalah perjuangan,
Melawan kebatilan demi kebaikan bersama.
Di tengah kerumitan zaman yang ada,
Akankah kita diam atau bergerak bersama?
Kholid, nelayan biasa, rakyat jelata,
Menjadi cermin bagi jiwa-jiwa kita.
———————————–
Ali Mustahib Elyas Cipinang, 28 Januari 2025