Kisah Inspiratif :
Anak ‘Nakal’ yang Menjadi Pahlawan
Di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs) di pinggiran kota, ada seorang siswa bernama Reza. Nama lengkapnya Muhammad Reza Fadillah (Bukan nama sebenarnya), tapi lebih sering dikenal sebagai “anak nakal” di kalangan guru dan siswa. Ia sering membolos, ribut di kelas, dan bahkan beberapa kali ditegur karena memimpin teman-temannya untuk bermain saat jam pelajaran. Guru-guru pun sering menggelengkan kepala, sementara teman-temannya memilih menjaga jarak agar tidak ikut terseret masalah.
Namun di balik kenakalannya, Reza sebenarnya anak yang cerdas dan tangkas. Ia hidup bersama neneknya sejak kecil karena orang tuanya bekerja di luar kota. Hidup dalam kesederhanaan dan tanpa perhatian penuh dari orang tua membuatnya tumbuh keras dan terlihat liar. Tapi siapa sangka, peristiwa tak terduga justru mengubah pandangan semua orang terhadapnya.
Suatu pagi, di perjalanan menuju madrasah, Reza melihat kerumunan orang di pinggir jalan. Ia bergegas mendekat dan betapa terkejutnya ia saat melihat seorang laki-laki tergeletak di tengah jalan dengan motor yang rusak parah di sampingnya. Itu adalah Pak Rino, guru Bahasa Indonesia yang dikenal sabar dan ramah.
Orang-orang hanya melihat tanpa berani bertindak. Bahkan sebagian yang lain hanya sibuk memotret korban dengan ponselnya. Tanpa pikir panjang, Reza menerobos kerumunan, memanggil-manggil Pak Rino yang saat itu setengah sadar, dan langsung meminta bantuan dari pengendara lain untuk membawanya ke rumah sakit. Ia juga mengambil ponsel Pak Rino dan menghubungi pihak sekolah serta keluarganya.
Tak hanya itu, Reza menunggu sampai Pak Rino mendapatkan perawatan, lalu ikut membantu mengurus motornya ke bengkel. Ia bahkan menggunakan uang jajannya untuk membayar ojek pulang karena hari itu tidak sempat ke sekolah.
Berita tentang keberanian dan ketulusan Reza menyebar cepat di madrasah. Para guru yang dulunya sering menegurnya mulai memandangnya dengan mata yang berbeda. Teman-teman yang dulu menghindar kini menghampiri dan memberi tepuk tangan saat Reza kembali ke kelas.
Dalam upacara hari Senin, kepala madrasah memberikan penghargaan khusus kepadanya. Bukan karena nilai, bukan karena lomba, tapi karena keberanian dan empati. Reza terharu, tampak matanya berkaca-kaca menahan tangis di depan seluruh siswa saat menerima penghargaan itu.
“Saya minta maaf kalau selama ini saya banyak salah. Tapi saya ingin berubah. Saya sadar sekarang, ternyata madrasah ini bukan hanya tempat belajar pelajaran, tapi tempat belajar jadi manusia,” ucapnya lirih.
Sejak saat itu, Reza perlahan berubah. Ia masih sering bercanda, tapi tidak lagi membolos. Ia mulai aktif di kegiatan pramuka dan menjadi panutan bagi adik kelasnya.
Kisah Reza mengajarkan kita bahwa label “nakal” bukan akhir dari segalanya. Kadang, hanya butuh satu kesempatan untuk menunjukkan bahwa setiap anak punya sisi baik yang bisa menyala terang—asal diberi ruang dan kepercayaan.