Nama Gibran bergema di lorong sejarah, di mana kata dan jiwa berpadu, mewarnai ruang pemikiran dan mimpi, seperti cahaya yang mengukir langit malam. Kahlil Gibran—penyair yang suci, menyelam ke dalam samudra spiritualitas, membingkai keindahan dalam bait-bait abadi. “Engkau boleh memberikan mereka kasih sayangmu, tetapi bukan pikiranmu, sebab mereka memiliki pikirannya sendiri,” bisiknya, mengajarkan kelembutan pikiran yang membebaskan jiwa dari belenggu kebodohan. Ilmu, sastra, dan kebijaksanaan menjadi lentera peradaban, di mana setiap kata adalah benih pencerahan, menginspirasi generasi dalam sunyi dan gemuruh zaman. Tapi lihatlah di sana! Bahlil Gibran muncul serupa bayang-bayang hitam, simbol gelap dari keserakahan dan keangkuhan, dimana integritas terkikis oleh nafsu, dan nepotisme menggenggam erat setiap ruang kekuasaan. Di balik tirai kritik yang terabaikan, sistem berkerut-kerut dalam keserakahan, menolak perubahan meski badai kecaman menderu di seantero negeri. Negeri yang terjebak dalam cengkeraman oligarki tak akan mampu tumbuh berkembang, sebab sumber daya hanya berputar di lingkaran sempit, bukannya mengalir demi kemajuan kolektif. Para begawan mengingatkan: “Masalah terbesar bukanlah orang jahat yang berkuasa, tetapi bagaimana masyarakat menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang normal.” Dan biasa-biasa saja Di antara dua wajah Gibran, terpatri refleksi peradaban, antara pencerahan yang menerangi jiwa dan kegelapan yang menutup harapan. Dari Kahlil ke Bahlil, kisah abadi terlukis dalam bait, satu menyalakan obor kebijaksanaan, satu lagi menggelapkan jalan kebenaran. Semoga sejarah mencatat dengan jujur, siapa yang menuntun manusia menuju cahaya, dan siapa yang terjebak dalam bayang-bayang, mewarnai dunia dengan pencerahan atau kegelapan. - Ali Mustahib Elyas -