Di tengah derasnya arus teknologi digital (disrupsi teknologi), banyak remaja Indonesia, bahkan dunia, kini mengalami culture shock  atau gagap budaya. Ini bukan lagi sekadar reaksi saat berpindah tempat atau menghadapi budaya asing, tetapi kini menjadi fenomena yang muncul karena perubahan sosial dan budaya yang sangat cepat akibat teknologi. Remaja, khususnya pelajar, menjadi kelompok paling rentan mengalami keterasingan budaya di tengah kemudahan akses internet dan media sosial yang nyaris tak berbatas.

Definisi dan Gejala Culture shock

Culture shock adalah reaksi emosional terhadap perubahan budaya yang signifikan. Reaksi ini bisa berupa perasaan bingung, cemas, kehilangan arah, hingga amarah karena seseorang merasa kehilangan pegangan nilai dan norma yang dulu menjadi landasan identitas dirinya. Dalam konteks saat ini, perubahan itu lebih banyak dipicu oleh masuknya budaya luar melalui teknologi digital yang begitu cepat dan masif. Tanpa disadari, budaya lokal yang seharusnya tumbuh bersama pribadi remaja, terkikis bahkan tergantikan oleh budaya asing yang dibawa oleh dunia maya.

Dalam kasus Indonesia, remaja kini lebih mengenal tren Korea Selatan daripada sejarah kerajaan Nusantara, lebih fasih mengutip tokoh Marvel dibanding tokoh pahlawan nasional, lebih akrab dengan gaya hidup selebgram daripada nilai-nilai luhur budaya lokal. Culture shock ini bukan hanya soal kesenjangan budaya, tetapi sudah menjurus ke krisis identitas tetapi justru dijadikan kebanggaan. Orang merasa lebih bergengsi menyebut Fried Chicken daripada Ayam Goreng, Black Coffe daripada Kopi Hitam, dan seterusnya.

Perubahan sosial akibat teknologi dapat menciptakan cultural dissonance, yaitu ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang diterima dan lingkungan sekitar. Remaja yang belum memiliki fondasi nilai yang kuat akan mudah terbawa arus budaya luar tanpa kemampuan menyaring secara kritis.

Komaruddin Hidayat, cendekiawan Muslim dan mantan Rektor UIN Jakarta, menegaskan bahwa teknologi hanya akan bermanfaat jika digunakan oleh individu yang matang secara intelektual dan spiritual. “Kalau tidak, yang terjadi bukan transformasi positif, tetapi disorientasi identitas,” tegasnya.

Realitas remaja yang masih duduk di bangku SMP/MTs secara umum belum memiliki kematangan intelektual, emosional, dan spiritual, bahkan ada pula yang belum pandai membaca meskipun yang terakhir ini masih kasuistis. Mereka juga sering disebut sebagai orang yang pertumbuhannya berada di persimpangan. Mereka tak bisa lagi disebut kanak-kanak dan belum juga bisa digolongkan orang dewasa. Suatu kondisi yang normal dalam konteks perkembangan yang baru dialami remaja. Tetapi menjadi krusial bila kondisi ini tidak memperoleh bimbingan yang tepat, termasuk dalam hal penggunaan gadget. Gadget yang terkoneksi internet ibarat hutan belantara yang akan mudah menyesatkan bagi orang-orang yang belum matang ilmu dan pengalamannya.

Teknologi: Efisien tapi Berisiko

Memang benar bahwa teknologi memberikan kemudahan luar biasa dalam belajar. Dengan sekali klik, jutaan informasi terbuka. Namun, ketika pengguna teknologi belum mampu menyaring informasi yang baik dan buruk, maka teknologi justru menjadi bumerang. Di sinilah letak bahayanya bagi remaja. Mereka yang belum matang dalam membentuk karakter akan kesulitan mengelola paparan informasi yang datang bertubi-tubi.

Lantas kapan anak boleh menggunakan gadget? Bos komputer kelas dunia seperti Bill Gate membuat batasan ketika anak-anak sudah berumur 14 tahun (bulelengkab.com, 14 Maret 2021). Bahkan Steve Jobs, pendiri Apple, membuat batasan lebih ketat dengan melarang anak-anaknya menggunakan gadget ciptaannya sendiri sampai mereka berusia 17 tahun. Hal ini dilakukannya karena ia sadar akan dampak adiktif dan merusak gadget terhadap perkembangan mental dan sosial anak. Bahkan ia juga membatasi penggunaan gadget saat di rumah. (Jawapos.com 11 April 2025), “Kami membatasi penggunaan teknologi untuk anak-anak di rumah,” ungkap Steve Jobs di tahun 2010 lalu, New York Times (11/09).

Model parenting ala Jobs dan Gate itu ternyata sejalan dengan rekomendasi dari American Psychological Association tentang keharusan membatasi penggunaan gadget untuk bermain game dan media sosial. Sebaliknya anak perlu diberi keleluasaan memanfaatkan gadget untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah (Kompas.com, 21 September 2021).

Respons Global terhadap Culture shock Teknologi

Menariknya, beberapa negara maju seperti Prancis, Finlandia, dan Belanda telah mengambil langkah tegas. Pemerintah mereka melarang penggunaan gadget di lingkungan sekolah dasar dan menengah. Di Prancis, sejak 2018, sekolah-sekolah dilarang menggunakan ponsel selama jam pelajaran. Alasannya sederhana: mengembalikan fokus belajar dan interaksi sosial secara nyata.

Berikut daftar 9 negara yang melarang anak-anak menggunakan gadget (Tempo.co, 24 Januari 2025) :

  1. Perancis

Eksperimen “Pause numerique” diterapkan di 180 sekolah menengah pertama di Prancis, melibatkan lebih dari 50.000 siswa berusia 11–15 tahun. Proyek ini mewajibkan siswa menyerahkan ponsel saat tiba di sekolah, melanjutkan larangan penggunaan ponsel yang berlaku sejak 2018.

  1. Finlandia

Finlandia telah lama dikenal dengan standar akademisnya yang luar biasa, tetapi standar tersebut mulai merosot akhir-akhir ini. Beberapa sekolah, termasuk di Riihimaki, mulai kembali menggunakan buku, pensil, dan kertas, menggantikan perangkat digital yang dianggap mengganggu. Guru dan siswa melaporkan peningkatan fokus dan kemudahan belajar tanpa perangkat, termasuk manfaat seperti membaca lebih cepat dan tidur lebih baik.

  1. Inggris

Yayasan Ormiston Academies melarang penggunaan ponsel bagi sekitar 35.000 murid di 42 sekolah untuk mengatasi dampak negatif waktu layar pada kesehatan mental. Larangan ini terbukti berhasil dan didukung oleh siswa serta orang tua. Tom Rees, CEO Ormiston, menekankan pentingnya perhatian dalam belajar dan menyebut ponsel sebagai gangguan besar. Upaya sebelumnya untuk membatasi ponsel di sekolah Inggris kurang efektif karena penerapannya tidak mengikat.

  1. Norwegia

Pemerintah Norwegia berencana menaikkan batas usia bagi anak-anak untuk menyetujui syarat penggunaan media sosial dari 13 menjadi 15 tahun, meskipun orang tua tetap dapat memberikan izin jika anak masih di bawah batas usia tersebut. Pemerintah juga sedang merancang undang-undang untuk menetapkan batas usia minimum yang sah untuk menggunakan media sosial.

  1. Jerman

Anak-anak berusia 13 hingga 16 tahun di Jerman hanya diizinkan menggunakan media sosial dengan izin orang tua. Meskipun belum ada rencana untuk memperketat aturan, para pendukung perlindungan anak menilai kontrol saat ini kurang memadai dan menyerukan penerapan yang lebih tegas. 

  1. Belanda

Belanda belum memiliki aturan usia minimum untuk penggunaan media sosial. Namun, mulai Januari 2024, perangkat seluler dilarang di ruang kelas guna mengurangi gangguan, kecuali untuk pelajaran digital, kebutuhan medis, atau disabilitas. 

  1. Belgia

Sejak 2018, Belgia menetapkan anak-anak harus berusia minimal 13 tahun untuk membuat akun media sosial tanpa memerlukan izin orang tua. 

  1. Itali

Di Italia, anak di bawah 14 tahun memerlukan izin orang tua untuk membuat akun media sosial, tetapi izin tersebut tidak lagi diperlukan setelah mereka mencapai usia tersebut.

  1. Australia

Australia juga menerapkan pembatasan penggunaan gadget pada anak. Negara tersebut telah mengesahkan larangan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun baru menerapkan pembatasan penggunaan gadget pada anak adalah Australia. Negara tersebut telah mengesahkan larangan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun.(voaindonesia.com, 30 November 2024).

Di Indonesia, sebuah pesantren di lereng Merapi, Afkaruna, menerapkan kebijakan serupa. Para santrinya dilarang menggunakan buku digital dan diminta membaca buku fisik. Ini dilakukan sebagai upaya membentuk kedalaman berpikir dan koneksi emosional dengan ilmu pengetahuan yang tidak bisa diperoleh dari layar gadget.

Kembali ke Akar Budaya dan Literasi Manual

Langkah-langkah ini menunjukkan kesadaran global bahwa pendidikan tak bisa sepenuhnya diserahkan pada teknologi. Justru, literasi manual seperti membaca buku fisik, menulis tangan, dan berdiskusi langsung merupakan aktivitas penting untuk menumbuhkan nalar, empati, dan identitas diri.

Di sekolah-sekolah kita, sudah saatnya dibuat kebijakan yang membatasi penggunaan gadget, setidaknya selama proses pembelajaran berlangsung. Penggunaan internet dan perangkat digital bisa diperbolehkan di rumah, dengan pengawasan orang tua, khususnya untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah.

Culture shock (Gagap budaya) akibat teknologi adalah alarm yang harus segera direspon oleh semua elemen bangsa. Kita tidak bisa mencegah teknologi masuk, tetapi kita bisa membekali anak-anak dan remaja kita dengan fondasi nilai, karakter, dan budaya lokal yang kuat. Teknologi hanya akan menjadi alat, bukan penentu hidup, jika kita memiliki arah yang jelas sebagai bangsa. Dan arah itu hanya bisa dicapai bila generasi muda kita berdiri kokoh di atas akar budayanya sendiri.

“Anak-anak kita bukanlah robot masa depan, mereka adalah pewaris peradaban. Maka jangan cabut mereka dari tanah budaya yang menumbuhkan jati diri mereka.” — (Adaptasi dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara)