Pemotongan anggaran yang dialami oleh Kementerian Agama (Kemenag) sebesar Rp12,3 triliun telah mengguncang dunia pendidikan, khususnya pendidikan madrasah. Sebelumnya, anggaran Kemenag yang mencapai Rp 78,5 triliun kini menyusut menjadi Rp 66,2 triliun. Ini bukan sekadar angka, tetapi merupakan cerminan dari kebijakan yang akan berdampak langsung terhadap kualitas pendidikan di madrasah. Pemotongan terbesar terjadi pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis), yang anggarannya berkurang dari Rp 35,8 triliun menjadi Rp 25,7 triliun. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana nasib pendidikan madrasah ke depan, dan seberapa serius kita peduli akan peningkatan kualitasnya?

Salah satu dampak paling nyata dari pemotongan anggaran ini adalah penyesuaian alokasi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk madrasah. Untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), dana yang diterima kini adalah Rp 500 ribu per siswa per tahun. Angka ini tentu saja jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar siswa, apalagi dalam konteks pembelajaran yang semakin kompleks. Misalnya, biaya untuk buku pelajaran dan alat tulis saja sudah cukup menguras anggaran.

Selanjutnya, untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), alokasinya adalah Rp600 ribu per siswa per tahun. Jika kita bandingkan dengan kebutuhan riil di lapangan, dana ini tidak sebanding dengan biaya yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Contohnya, MTs sering kali membutuhkan alat peraga, laboratorium, dan fasilitas olahraga yang memadai. Dengan anggaran yang terbatas, bagaimana mungkin mereka dapat memenuhi semua kebutuhan ini?

Sementara itu, Madrasah Aliyah (MA) mendapatkan alokasi Rp700 ribu per siswa per tahun. Angka ini mungkin terlihat lebih besar, tetapi jika kita cermati lebih jauh, kebutuhan pendidikan di tingkat ini jauh lebih tinggi. Siswa MA biasanya memerlukan akses ke buku-buku referensi, internet, dan perangkat teknologi yang lebih baik. Dalam era digital saat ini, akses informasi menjadi sangat penting, dan dana yang ada tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Pemangkasan Dana BOS ini berpotensi menurunkan kualitas layanan pendidikan di madrasah. Dana BOS sebelumnya digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan operasional, termasuk pembelian buku, alat tulis, hingga peralatan pendidikan lainnya yang esensial bagi proses belajar mengajar. Tanpa dana yang memadai, madrasah akan kesulitan dalam menjalankan kegiatan akademik dan ekstrakurikuler secara optimal. Hal ini akan berujung pada penurunan minat siswa untuk belajar dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.

Namun, di tengah tantangan ini, ada peluang untuk efisiensi dalam penggunaan Dana BOS. Jika dikelola dengan baik, pemangkasan ini bisa menjadi momentum bagi madrasah untuk lebih memprioritaskan anggaran pada kegiatan pendidikan yang esensial. Misalnya, dengan mengurangi pengeluaran untuk kegiatan yang tidak mendesak dan apalagi yang tidak benar atau illegal. Efisiensi juga penting untuk mencegah tindakan tabzir atau sia-sia. Allah berfirman dalam surat Al-Isro’, 26-27 yang artinya, “….dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Seberapapun kecil dari segi harga tapi jika fungsinya tidak terlalu dibutuhkan, juga termasuk tabzir. Sebaliknya, meskipun harganya mahal tapi jika sangat dibutuhkan maka tidak termasuk tabzir. Hal lain yang terkait tabzir yaitu isyrof atau sikap berlebih-lebihan. Menurut Umi Alifah dalam tesisnya mengungkap, kata isyrof terdapat sebanyak 23 kali dalam 17 surat, sedangkan kata tabzir terdapat 3 kali dala 2 ayat. Langkah efisiensi yang bertujuan untuk mencegah tabzir dan isyrof sangat mendesak dilakukan madrasah di tengah situasi-kondisi saat ini. Selanjutnya madrasah dapat mengalihkan dana untuk pengembangan kurikulum dan pelatihan guru. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Ahmad Syafii Maarif, seorang tokoh pendidikan, “Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Kita perlu memikirkan bagaimana setiap rupiah yang kita keluarkan dapat memberikan dampak maksimal bagi siswa.”

Namun, keputusan untuk mengalihkan sebagian Dana BOS guna membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) justru menuai kontroversi. Alih-alih memperkuat kualitas pendidikan, kebijakan ini bisa membuat dunia pendidikan mengalami kemunduran. Fokus utama pendidikan seharusnya tetap pada peningkatan kualitas akademik, bukan sekadar memenuhi kebutuhan pangan siswa. Menurut pendapat Kuntowijoyo, seorang pakar pendidikan, “Kesehatan dan pendidikan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Namun, kita harus ingat bahwa pendidikan yang baik tidak hanya bergantung pada makanan yang baik, tetapi juga pada kurikulum yang baik.”

Dilema antara Pendidikan Gratis dan Makan Gratis semakin terasa ketika melihat respons siswa di berbagai daerah, terutama di Papua. Banyak siswa lebih menginginkan pendidikan yang benar-benar gratis dibandingkan program makan gratis. Pasalnya, program makan gratis ini tidak sepenuhnya gratis, karena biayanya diambil dari Dana BOS yang seharusnya digunakan untuk mendukung proses pembelajaran. Ini menunjukkan bahwa siswa dan orang tua mereka lebih memprioritaskan kualitas pendidikan daripada hanya sekadar memenuhi kebutuhan konsumsi harian.

Dengan pemotongan anggaran ini, tantangan bagi madrasah semakin berat. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan alokasi anggaran agar tidak mengorbankan kualitas pendidikan. Dunia pendidikan seharusnya berorientasi pada penguatan ilmu dan karakter, bukan sekadar memenuhi kebutuhan konsumsi harian siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, “Pendidikan harus bisa membangun karakter dan kompetensi, bukan hanya sekadar memenuhi angka atau statistik.”

Dari sudut pandang manajemen, pemotongan anggaran ini juga mengharuskan madrasah untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif. Misalnya, madrasah bisa menjalin kemitraan dengan sektor swasta untuk mendapatkan sponsor dalam bentuk fasilitas atau bantuan dana. Selain itu, madrasah juga dapat berusaha mendorong lebih kuat atas keterlibatan orang tua siswa dalam penggalangan dana untuk kegiatan pendidikan. Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi madrasah untuk berinovasi dan beradaptasi dengan kondisi yang ada. Sayangnya, langkah ini tidak mudah begitu saja dilakukan, khususnya bagi sekolah/madrasah negeri karena harus mencermati aturan main yang rumit terkait soal pendanaan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemotongan anggaran ini juga menciptakan ketidakpastian di kalangan tenaga pendidik. Banyak guru yang merasa khawatir akan masa depan mereka dan kualitas pendidikan yang bisa mereka berikan. Jika anggaran terus dipotong, bagaimana mereka bisa memberikan pendidikan yang berkualitas? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.

Di sisi lain, masyarakat juga berperan penting dalam menjaga kualitas pendidikan. Kesadaran orang tua dan masyarakat untuk terlibat aktif dalam pendidikan anak-anak mereka sangat diperlukan. Dengan dukungan dari masyarakat, madrasah bisa lebih berdaya dalam menghadapi tantangan yang ada. Misalnya, masyarakat bisa membantu dalam pengadaan buku atau alat peraga yang diperlukan.

Dalam konteks yang lebih luas, pemotongan anggaran ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya. Kebijakan yang diambil haruslah mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap pendidikan. Pendidikan adalah fondasi bagi masa depan bangsa, dan jika kita mengabaikannya, kita berisiko kehilangan generasi yang berkualitas.

Terakhir, perlu ditekankan kembali bahwa pemotongan anggaran Kementerian Agama yang signifikan berdampak langsung pada Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) madrasah serta kualitas pendidikan secara keseluruhan. Meskipun terdapat peluang untuk efisiensi, tantangan yang dihadapi oleh madrasah sangatlah besar. Pendidikan harus tetap menjadi prioritas utama, dan setiap kebijakan yang diambil harus berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan. Dengan dukungan dari masyarakat, dan tenaga pendidik, kita dapat berharap untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Kita ingat bahwa pendidikan yang berkualitas adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa. Jepang mampu bangkit dari keterpurukannya akibat bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, karena Kaisar Hirohito pada saat itu membuat pilihan investasi yang tepat untuk membangun kembali Jepang, yaitu melalui pendidikan. “Berapa banyak guru yang masih hidup?” demikian ungkapnya saat menyaksikan kenyataan ribuan rakyatnya gugur akibat kekejaman perang.