Ibadah haji dan umrah, yang kini dikenal sebagai salah satu ritual utama dalam Islam, sejatinya bukan sekadar perjalanan fisik ke tanah suci. Haji, bahkan, merupakan salah satu dari lima rukun Islam setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa. Namun lebih dari sekadar rukun, haji dan umrah adalah sebuah napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW, yang menyimpan makna spiritual mendalam bagi setiap Muslim yang menghayatinya. Setiap langkah yang kita ambil di Tanah Suci adalah pengingat akan pengorbanan dan ketulusan para nabi dalam menjalankan perintah Allah.
Ketika kita melangkah menuju Tanah Suci, kita tidak hanya bergerak secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Setiap tahapan dalam ibadah haji dan umrah mengandung makna yang dalam, mengajak kita untuk merenungkan perjalanan hidup kita sendiri. Misalnya, saat kita melakukan tawaf di sekitar Ka’bah, kita sebenarnya sedang mengulangi tindakan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an, “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian dari tempatmu untuk shalat.” (Q.S. Al-Baqarah: 125). Ini menunjukkan betapa pentingnya Ka’bah sebagai pusat spiritual bagi umat Islam.
Makna Religius dari Perjalanan Haji dan Umrah sangatlah dalam. Ketika kaki kita melangkah menuju Tanah Suci, sesungguhnya kita sedang melintasi jejak-jejak para nabi. Kita menapak jalan yang dulu dilalui Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Makkah ke Madinah, sejauh lebih dari 435 km dengan hanya mengendarai unta, bahkan sebagian sahabat berjalan kaki. Dalam kondisi alam yang jauh lebih berat dari sekarang, para pendahulu kita berjuang demi menyebarkan cahaya Islam. Maka, ketika kita menempuh rute serupa dengan bus ber-AC atau kereta cepat, kita tak ingin menyia-nyiakan momen itu hanya dengan bercanda ria, tanpa merenung dan berpikir. Setiap langkah kita hayati dengan rasa syukur dan kesadaran akan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para nabi. Saat kita memperhatikan pemandangan berupa deretan pegunangan batu, hamparan tanah berpasir dan tandus dari balik jendela bus atau kereta cepat, terbayang bagaimana ribuan tahun yang lalu para Nabi berjuang di daerah itu. Sebuah daerah yang bukan hanya keras alamnya tetapi juga karakter para penduduknya. Saking keras dan buruknya karakter, mereka disebut sebagai orang-orang ‘jahiliyah’ yaitu orang-orang yang bodoh secara emosional dan spiritual meskipun boleh jadi mereka pintar secara intelektual. Mereka pintar dalam hal kesusasteraan. Mereka sangat pandai membuat syair. Bisa jadi karena itulah mereka juga mengira bahwa Al-Qur’an merupakan buku yang disusun Nabi Muhamad atas bantuan para ahli kitab. Jika benar Al-Qur’an adalah karya manusia sesuai tuduhan mereka, maka Allah manantang mereka untuk bisa membual semisal Al-Qur’an. Dalam hal ini Allah berfirman, “Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, “Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Alquran), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Q.S. Yunus, 38).
Saat menatap Ka’bah—bangunan suci berbentuk kubus yang berselubung kain hitam—apa yang hadir dalam batin kita? Apakah ia hanya sekadar objek visual, atau simbol agung kiblat yang mengingatkan kita untuk mengarahkan seluruh hidup kepada Allah? Tangis haru yang sering tiba-tiba mengalir saat menatapnya menjadi pertanda bahwa hati telah terarah atau tersentuh oleh kesadaran akan kebesaran Tuhan. Dalam momen tersebut, kita diingatkan oleh firman Allah dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk manusia adalah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (Q.S. Ali Imran: 96). Ini menegaskan betapa pentingnya Ka’bah sebagai pusat ibadah dan penghubung antara hamba dan Sang Pencipta. Kakbah bukanlah obyek tujuan akhir pengagungan sehingga diberhalakan seperti orang-orang jahiliyah dahulu memperlakukannya.
Hajar Aswad, batu dari surga yang menempel di salah satu sudut kakbah, yang dicium jutaan orang setiap tahunnya, menjadi simbol lain dari kerinduan akan kedamaian abadi di surga (darus-salam). Untuk itu kita tak ingin mencelakai orang lain demi bisa menyentuh atau menciumnya. Dari sini kita ingat perkataan Umar bin Khattab, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.” Ini mengingatkan kita bahwa tindakan kita harus didasari oleh niat yang benar dan kesadaran akan makna di balik setiap ritual yang kita lakukan.
Demikian pula saat menjalani sa’i antara bukit Safa dan Marwa. Dahulu, Siti Hajar melakukannya seorang diri di tengah kondisi kedua bukit itu masih sangat gersang demi menyelamatkan bayinya, Nabi Ismail AS. Ia bolak-balik tujuh kali sejauh 900 meter tanpa keluhan. Kini, kita menapaki jalur yang sama dalam ruang sejuk dengan fasilitas lengkap, tentu tak ingin mengeluh pegal dan sakit pinggang. Dalam momen ini, kita diingatkan untuk bersyukur atas segala kemudahan yang Allah berikan kepada kita. Seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim: 7). Ini menjadi pengingat bahwa setiap nikmat harus disyukuri dan tidak disia-siakan. Jika dahulu seorang perempuan bernama Siti Hajar mampu melakukan hal itu seorang diri demi menyelamatkan jiwa bayinya, mengapa kita masih merasa kesulitan justru dalam kondisi telah banyak fasilitas yang memudahkan?
Ziarah Penuh Makna: Antara Spiritual dan Sejarah adalah bagian penting dari pengalaman haji dan umrah. Wisata religi juga mencakup kunjungan ke situs-situs penuh makna sejarah dan spiritual. Misalnya, situs rumah Siti Khadijah, istri Rasulullah SAW, yang menunjukkan betapa kuatnya peran perempuan dalam sejarah Islam. Beliau adalah pengusaha sukses dengan rumah palin besar pada masanya, namun memilih hidup bersahaja bersama Rasulullah. Mahar pernikahan mereka pun luar biasa besar, berupa emas seberat 12,5 uqiyah (350 gram) dan 20 ekor unta betina muda yang bernilai lebih dari Rp 1,4 miliar bahkan ada yang berpendapat mencapai Rp 2 miliar jika dikonversi ke masa kini. Namun, justru kesederhanaan dan keteguhan iman mereka yang menjadi teladan. Ini mengingatkan kita bahwa kekayaan materi tidak menjamin kebahagiaan, melainkan ketulusan dan iman yang kuat yang menjadi kunci kebahagiaan sejati. Realitas ini menegaskan bahwa Rasulullah sangat kaya raya dan keturunan bangsawan Quraisy, namun beliau lebih memilih hidup sederhana, bahkan bersahaja sebagaimana orang kebanyakan.
Tak jauh dari sana, terdapat rumah Abu Lahab yang kini menjadi WC umum. Ini seolah menjadi sindiran sejarah—seorang tokoh Quraisy yang sombong dan membenci dakwah Nabi, kini tinggal namanya sebagai tempat pembuangan kotoran manusia sedunia seperti dahulu semasa hidupnya ia suka membuang kotoran di depan pintu rumah Nabi SAW. Di seberangnya berdiri Jabal Qubais, gunung pertama yang diciptakan Allah, kini di atasnya berdiri megah istana raja yang biasanya digunakan untuk menerima para pemimpin dunia sebagai tamu kerajaan.
Di Gunung Uhud, kita dapat membayangkan betapa sengitnya peperangan yang terjadi di sana. Bukit Uhud menjadi saksi bagaimana Rasulullah menempatkan pasukan pemanahnya, dan bagaimana umat Islam harus menelan kekalahan karena ketidakdisiplinan sebagian pasukan. Kisah ini menjadi pelajaran akan pentingnya taat dan setia pada arahan pemimpin. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa: 59). Ini mengingatkan kita bahwa dalam setiap aspek kehidupan, ketaatan kepada pemimpin dan peraturan adalah kunci untuk mencapai kesuksesan. Kepemimpinan dan tegaknya aturan, konstitusi, undang-undang atau apapun namanya menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Mentaati pemimpin merupakan keharusan dalam konteks ketaatan pada peraturan dan bukan sekedar ketaatan individual. Maka ketaatan pada peraturan berlaku tidak hanya ditekankan pada orang-orang yang dipimpin tetapi istimewanya justru bagi para pemimpin agar bisa diteladani. Muhamad SAW. selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, beliau adalah seorang pemimpin sejati karena bisa diteladani. Allah berfirman, “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (Q.S. Al-Ahzab, 21). Maka tidak heran jika seorang orientalis Michael H. Hart memposisikan Rasulullah pada ranking pertama sebagai tokoh paling berpengaruh di antara seratus tokoh di dunia.
Al-Ula dan Ujian Iman di Tanah Tanduk adalah bagian penting dari perjalanan spiritual ini. Kawasan Al-Ula di utara Madinah menyajikan lanskap yang mencolok: antara keindahan alam dan godaan duniawi. Restoran dengan kolam renang terbuka yang berada di halaman depannya bisa menjadi ujian bagi keteguhan iman. Ketika melihat kontras itu, kita bisa bertanya pada diri sendiri: sejauh mana kita mampu menjaga pandangan, menjaga hati, dan tetap berada di jalan yang lurus dalam lingkungan yang menantang? Dalam situasi ini, kita diingatkan untuk selalu bersyukur dan tetap fokus pada tujuan akhir kita, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Begitu juga saat di perjalanan, sesulit apapun kondisinya harus tetap melaksanakan salat. Oleh sebab itu Islam mengajarkan tentang bagaimana melaksanakan salat di perjalanan dan di dalam kendaraan agar tidak memberatkan. Tapi kalau kemudahan inipun tidak dilakukan, maka apalah arti perjalanan ibadah haji dan umrah. Seorang bapak, kelihatannya ia kepala rombongan jamaah umroh, menyampaikan “woro-woro” atau peringatan kepada segenap rombongannya dengan suaranya yang cukup keras, “Bapak-bapak, ibu-ibu. Silahkan yang belum salat segera salat. Umroh hukumnya sunat sedangkan salat hukumnya wajib. Silahkan segera mumpung masih ada waktu” Begitu katanya saat mendarat di bandara Soekarno-Hatta Jakarta.
Menghidupkan Spiritualitas dalam Perjalanan adalah inti dari pengalaman haji dan umrah. Wisata religi bukan hanya soal kunjungan ke tempat suci, tetapi tentang menghidupkan kembali kisah dan nilai-nilai perjuangan para nabi dalam kehidupan kita hari ini. Ibadah haji dan umrah adalah perjalanan fisik yang harus menjadi perjalanan batin juga—perjalanan menuju Allah, Zat tempat asal dan tujuan kita semua. Jangan biarkan langkah kita hanya menjadi jejak di pasir, melangkah lelah penuh keluh-kesah atau justru bersuka-ria penuh canda-tawa, tapi jadikan ia sebagai tapak sejarah yang menumbuhkan keimanan dan ketakwaan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada kedua orang tua, kepada-Ku lah tempat kembali.” (Q.S. Luqman: 14). Ini mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan harus diakhiri dengan rasa syukur kepada Allah dan kepada orang-orang yang telah membantu kita dalam perjalanan hidup ini.
Maka, penting sekali menghayati setiap detik dalam ibadah ini sebagai proses mendekat kepada-Nya. Bukan sekadar berwisata, melainkan menjadi peziarah sejati yang mencari cahaya dalam jejak para nabi. Dengan memahami dan menghayati setiap aspek perjalanan ini, kita dapat membawa pulang bukan hanya kenangan, buah tangan, dan foto-foto selfi tetapi juga pelajaran berharga yang akan membimbing kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari ke depannya. Ibadah haji dan umrah menjadi titik balik dalam hidup kita, mengubah cara pandang kita terhadap dunia dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. (Ali Mustahib Elyas)