
Sidang BPUPKI menjadi forum diskusi dan perumusan dasar negara, termasuk Pancasila
Tanggal 1 Juni 2025 kembali mengajak bangsa Indonesia untuk merenungkan makna terdalam dari Pancasila sebagai dasar negara yang bukan sekadar rumusan politik, melainkan juga panduan moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peringatan Hari Lahir Pancasila bukan hanya soal mengenang sejarah kelahirannya, tetapi juga menggali kembali landasan filosofis dan nilai-nilai luhur yang menghidupinya.
Salah satu sudut pandang yang penting untuk diangkat adalah relevansi Pancasila dalam perspektif ajaran Islam. Jika ditelaah secara mendalam, nilai-nilai Pancasila memiliki akar yang kuat dalam prinsip-prinsip Islam universal: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Sebagaimana Rasulullah SAW. menyusun Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), kita melihat bagaimana prinsip-prinsip dasar peradaban ditanamkan dalam masyarakat Yatsrib yang sebelumnya rapuh oleh konflik antar suku—Aus dan Khazraj.
Piagam Madinah menjadi tonggak sejarah penting dalam peradaban Islam karena di sana Rasulullah membangun tatanan masyarakat inklusif berbasis kesepakatan, penghormatan terhadap perbedaan keyakinan, dan semangat gotong royong. Tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Semua warga Madinah, baik Muslim, Yahudi, maupun kelompok lain, dipandang sebagai satu umat (ummah wahidah) yang hidup dalam kedamaian di bawah nilai-nilai ilahiah dan kemanusiaan. Inilah semangat yang sangat selaras dengan Pancasila.
Pancasila menjembatani keberagaman menjadi kekuatan. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” bukanlah konsep baru. Ia telah hidup dalam tradisi Nusantara sejak era Majapahit, sebagaimana tertuang dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Ajaran ini menegaskan kesadaran historis bahwa keberagaman adalah kodrat, dan persatuan adalah cita luhur yang harus diperjuangkan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana masyarakat Nusantara telah lama memahami pentingnya saling menghormati dan bekerja sama meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Al-Qur’an menegaskan bahwa adanya perbedaan bukan untuk saling menegasikan, menjadi jarak yang memisahkan, tetapi justru sebagai tantangan untuk saling mengenal, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat, 13). Sebuah surat dalam Al-Qur’an yang dikutip Bung Karno saat berpidato di depan sidang PBB pada 30 September 1960.

Pidato Bung Karno di Sidang PBB Tahun 1960
Bung Karno, sebagai proklamator dan penggali Pancasila, sangat memahami bahwa Indonesia bukan negara yang dibangun di atas keseragaman. Ia percaya bahwa semangat toleransi, keadilan, dan persaudaraan adalah fondasi yang kuat untuk membangun bangsa. Pidato Bung Karno berjudul “To Build the Word a New” di sidang PBB 30 September 1960 menegaskan bahwa Pancasila adalah filosofi yang layak dijadikan dasar bagi tatanan dunia baru yang damai dan berkeadilan. Ini menunjukkan bahwa Pancasila tidak hanya relevan bagi Indonesia, tetapi juga untuk dunia yang lebih luas. Setelah 63 tahun pidato Bung Karno itu ditetapkan UNESCO sebagai Memory of The Word atau ingatan kolektif dunia. Sebuah penghargaan dunia yang menegaskan bahwa Pancasila merupakan falsafah hidup universal.

Percakapan Presiden Soekarno dan Presiden Tito
Dalam percakapannya dengan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, Bung Karno pernah bertanya tentang bagaimana nasib bangsa Yugoslavia bila Tito tiada. “Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami,” kata Tito. Mendengar jawaban sahabatnya itu Bung Karno menukas, “Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggalkan bangsaku dengan sebuah ‘way of life’ yaitu Pancasila.” Nyatanya sepuluh tahun setelah Tito wafat pada tahun 1980, Yugoslavia pecah menjadi negara-negara kecil Slovenia, Kroasia, Makedonia, Bosnia, Montenegro, Serbia, dan Kosovo. Kita juga masih ingat pertikaian dan perang saudara berlatar etnis maupun agama melanda negara-negara pecahan Yugoslavia seperti yang terjadi pada Serbia dan Bosnia (yang mayoritas Muslim). Sedangkan Indonesia masih tetap utuh hingga sekarang meskipun Bung Karno telah wafat pada tahun 1970. Karena Pancasila tetap hidup dalam jiwa bangsa Indonesia.
Namun, tantangan dalam mengamalkan Pancasila tetap ada. Di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks, kita sering dihadapkan pada polarisasi sosial dan konflik identitas. Di sinilah pentingnya kita mengingat kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Ia harus menjadi pelita yang menerangi jalan kita, bukan hanya sekadar jargon yang diucapkan. Pancasila harus diinternalisasi dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, hingga kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks global, Pancasila juga dapat menjadi warisan moral bagi dunia. Di saat dunia dilanda krisis kemanusiaan, nilai-nilai Pancasila yang menekankan pada keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dapat menjadi solusi. Pancasila lahir dari bumi yang tercerahkan, Nusantara, yang telah lama membuktikan diri sebagai kawasan peradaban tinggi yang menjunjung harmoni, keadilan, dan kemanusiaan. Dengan demikian, Pancasila bukan hanya milik Indonesia, tetapi bisa menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain.
Sebagaimana Madinah al-Munawwarah yang dibangun Rasulullah sebagai kota bercahaya karena nilai-nilai peradaban, Indonesia pun dapat terus tumbuh menjadi negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Selama Pancasila dijaga, dihayati, dan diamalkan bersama, kita bisa berharap Indonesia akan menjadi negeri yang baik dengan limpahan ampunan Tuhan. Ini adalah harapan yang tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Pada akhirnya kita terus bertekad menjadikan Pancasila sebagai jiwa bangsa dan cahaya peradaban dunia. Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari nilai-nilai Pancasila dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan bagi semua. Pancasila bukan hanya sekadar ideologi, tetapi juga sebuah panggilan untuk bertindak dan berkontribusi bagi kemanusiaan. (AME)